Hiburan




Deptcollector Penjaga Hati (bagian 22)
Aksi heroik yang dilakukan Sudung adalah sebuah tindakan mulia terlebih harus mengawini Linai yang sudah dipastikan akan menghadap yang kuasa. Namun, umur siapa yang tahu, bahwa sebenarnya ajal ada ditangan Tuhan, begitulah prinsip yang dijalankan Sudung  Menggadaikan cintanya demi kebahagian orang lain.
            Yakin bahwa menjalani hidup dengan Linai tidak hanya dihadapkan pada rasa iba belaka, namun tantangan masih menghadang Sudung dan Linai, beberapa pasang mata ternyata sudah menunggu kedatangan Sudung dan Linai. Tentunya, sambutan terkesan seremonial dengan protokoler tradisi adat yang masih kental, membuat Sudung merasa kikuk dan malu dengan dirinya. Disisi lain, aramo perbedaan ras di keluarganya terasa sekali.
            “Bang Sudung!! kapan datang, abang tambah ganteng aja,” pekik gadis manis berkulit hitam manis, tak lain Butet, pariban Sudung. Terlihat wajah Linai memerah, rasa cemburu kembali meledak-ledak, saat Butet dengan manja meraih tangan Sudung. Sikap manja itu seakan tidak mampu ditolaknya. “Sapa tuh bang! mantan pacarmu atau pacar,” kilah Linai dengan mimik minta penjelasan yang kongkrit.
            “Sayang!! itukan pariban aku Linai! emang napa sih? kok aneh gitu nanya-nanya melulu sih,” Sudung meyakinkan Linai. “Yah bang! dari tadi mama ngak nampak sih bang! kemana mama,” seru Linai. Sudung mencoba meresponnya, seraya mencarinya. Ternyata, tak jauh dari rumah, terlihat ibu Pardomuan bersimpuh dan menangis di wakaf Pak Pardomuan, meninggal akibat penyakit TBC sekitar 25 tahun yang silam.
Dengan ragu, pelan-pelan Sudungpun menghampirinya ibu Pardomuan. “Bereng ma anakmi amang, nunga diboan be boru niraja i, alai boru seleban do. Lungun do rohakku dibahen anakmi, atik ma nian damang di lambungku,” kata ibu Pardomuan. Sudung tidak mampu berkata apa-apa lagi, mendengar tangisan sang ibu menyesali Linai menjadi calon istrinya, sehinga Sudungpun terpukul dan merasa telah berdosa kepada ibu yang melahirkannya.
“Mas Sudung!!! Sudung!!...ah, dari tadi aku nyari Mas, eh...Mas malah disini,” Sudung amat terkejut mendengar kedatangan Linai. Ternyata percakapan Linai dengan Sudung, samar suaranya namun bagi Ibu Pardomuan, sudah tidak terasa asing,” eh ..anu!! ro maho tuson, unang disi,” kata Ibu Pardomuan.
“Saya bukan tidak setuju Linai itu menantu dirumah ini, namun perlu penjelasan yang lebih rinci padaku amang. Molo boru sileban do di boan ho, gabe parumaenku. Dang tumagon paribanmu si Butet,” terdengar suara Ibu pardomuan dengan nada kecewa. Sembari melihat kearah Linai yang sedang bingung dengan pembicaraan itu.
Gelagat kekecewaan terlihat di wajah Ibu Pardomuan, Linai langsung pamit meninggalkan Sudung dan Ibu Pardomuan.  “Saya sudah merasa berdosa kepada Inong, tapi perlu juga saya jelaskan kepada  Inong. Sebenarnya Linai dulunya adalah teman kerjaku, namun akibat kecelakaan dia mengalami kanker darah dan kanker otak,” Sudung menjelaskannya dengan terbata-bata.
“Justru itu bu!!, kendati perkawinan kami bukan didasari rasa cinta, tetapi hanya didasari untuk membuat dia bahagia, menurud dokter bahwa umurnya tinggal hanya dua bulan saja.Dan rencananya mama, kita langsung buat pesta nikahnya sesecepat mungkin dan sesederhana mungkin,” kata sudung sedikit memekik suaranya. (to be continued)


Debt Collector Penjaga Hati    


Dibalik Vonis dokter atas diri Linai yang sudah tidak berumur panjang akibat penyakit kangker otak yang dideritanya, Sudung yang merasa sayang dengan Linai harus mengorbankan cintanya kepada Zakiah, buktinya harus menikahi Linai bukan wanita yang tidak dicintainya. Sudung begitu sulit untuk menjalaninya sebab Dia tidak mau menyakiti Zakiah wanita yang dicintainya dan Linai Wanita yang dia sayangi.

            Sudung harus pamit dengan Zakiah, sesampai di rumah Zakiah, kini harus memutuskan pilihanya demi kemanusian. “Ada apa Dung?, kemana kita malam ini, kangen dengan suasana diluar sana,” ajak Zakiah. Ajakanya itu, tentu Sudung dihadapkan pada pilihan buah simalakama.  “Maksud aku Zak, aku hanya pamit padamu! aku akan menikah dengan Linai,” seru Sudung dengan nada tekanan rendah.

            “AAh! kamu canda Dung, kau buat aku cemburukan?, emang Linai dah sembuh ya?,” kata Zakiah sembari medekat kursinya persis dihadapan Sudung. “Aku serius Zak, aku kasihan dengannya, soalnya dari vonis dokter bahwa Linai ngak tertolong lagi. Dia memohon padaku, untuk menikahinya,” terang Sudung.

            Tiba-tiba, brak..brak! seketika meja dan kursi berhamburan dan berantakan. “Kamu kejam Dung, mengapa kamu harus tega menyakitiku. Kamu taukan, aku begitu mencintaimu,” pekik Zakiah sembari menangis. Melihat itu, Sudung semakin bingung dan tidak mampu lagi untuk mengatakan sepatah katapun dari mulutnya.

            Zakiah langsung menghantamkan tubuhnya ke tubuh Sudung. “Mengapa harus kamu lakukan, mengapa tega menyakitiku. Apakah aku kurang cantik bagimu,” pekik Zakiah merebahkan tubuhnya di dada Sudung. Sudung hanya memeluknya. “Maafkan aku yang, aku bukan bermaksud untuk menyakitimu. Namun aku merasa kasihan dan sedih bila mengigat umur Linai, katanya tinggal beberapa bulan saja. Apakah salah Zak!!, harus memenuhi permintaan terahirnya?,” seru Sudung sembari memeluk erat tubuh Zakiah.

            Tapi penjelasan Sudung , bagi Zakiah sepertinya tidak memberikan ruang maaf. Sudungpun semakin merapatkan pelukannya. Zakiahpun semakin merapatkan pelukanya, seakan tidak rela untuk melepaskan Sudung. Pelukan mereka semakin melarutkan kedua insane dalam sebuah kisah tawanan perang akan dihukum mati, keduanya saling berpelukan untuk melepaskan rindu terahir, sehingga memacu adrenalin untuk bertarung bagaikan sepasang angsa  pada musim kawin.



            Hampir larut malam, Zakiah dan Sudung terlarut dalam kisah yang mengharukan. Sudungpun tersadar bahwa dirinya ingkar janji kepada Linai manunggu di Hotel, terlihat ponsel Sudung beberapa kali panggilan tak terjawab dari Linai, tidak terdengar setelah melakoni pertempuran yang maha dasyat. Melihat itu, Sudung langsung marapikan diri dan segera pergi.

            Zakiah  langsung terbangun. “Mau kemana Mas? buru buru amat!! kan aku mau menemaniku,” seru Zakiah sembari menarik tangan Sudung dan langsung mendekapnya. “Ngak Zak, aku mau pergi, kasihan Linai sendiri di Hotel, kamu tau!!!, Linai sedang sakit,” kata Sudung mencoba melepaskan dekapan Zakiah.

            Tiba-tiba saja telpon pararel berdering, tidak salah lagi, Linai sudah berada di ruang di ruang pos satpam. Sambungan telpon langsung diangkat Zakiah, satpam melaporkan ada tamu. Zakiah langsung meyarankan untuk keruang tamu. Namun pembicaraan itu agak samar,  sehingga Sudung mencoba mempertayakannya. “Siapa sih, malam begini masih ada tamu,” tanya Sudung. Zakiah mencoba berbelit sengaja tidak memberitahu. “Tunggu sebentar, ada urusan dengan nasabah,” kata Zakiah sembari menyambar dasternya yang tipis dan transparan.

            Selang beberapa menit, terdengar suara  keras dari ruang tamu. “Ngapai kemari, siapa kau. Ngak bisa kamu aku lihat senang,” Zakiah langsung membatingkan pas bunga kelantai. Mendengar suara gaduh, Sudung langsung menghampiri ruang tamu. Bergegas secepat mungkin. Responya takut terjadi apa apa, Sudung yang hanya mengunakan celana pendek dan telanjang dada mencoba berlari. Diruang tamu, betapa terkejutnya Sudung, melihat sosok Linai yang sedang menangis dihadapan Zakiah. (to be countined)
           



Cerbung



Debt collector Penjaga Hati





Masih saja Sudung tidak tenang dengan apa yang telah dilakukannya, Sudung masih dibayang bayangi rasa bersalah setelah menghabisi Borju si pereman angkuh. Terlebih kondisi Linai yang belum ada tanda tanda akan meninggalkan rumah sakit. Kerap kali Sudung terdiam dan bingung tidak tau harus berbuat apa.




“Pak sudung, apa yang anda pikirkan???, beberapa hari ini saya perhatikan bapak selalu gelisah,” dokter Glend mencoba buyarkan lamunan Sudung. “Oh..pak dokter rupanya!! ini pak dokter, tentang kondisi Linai, diagnosanya gimana pak dokter?? maklum pak dokter saya ngak sanggup melihatnya bila Linai hanya terbaring dan terbaring,” sebut Sudung berharap dokter Glend memberikan jawaban yang memuaskan.



“Pak Sudung!! kita hanya berharap agar mujizat dari Tuhan hadir, segala sesuatunya telah kita lakukan dari ilmu kedokteran, hanya, hasilnya masih saja belum mengarah ke kondisi normal,” kata dokter Glen meyakinkan Sudung. Namun bagi Sudung penjelasan dokter Glen, malah membuatnya semakin tidak tenang lalu menghempaskan tubuhnya kelantai.




“Kamu bahkan seperti kehilangan seorang ibu, apa yang sudah terjadi padamu Sudung??, kita serahkan saja kepada dokter Glend, kamu ngak usah khwatir dengan biayanya. Aku sudah siapkan segalanya, yang penting kamu bahagia, Linai dapat normal kembali,” Sudung seketika bangkit dan menghampiri Zakiah. “Eeh Zakiah, kamu dari mana aja, aku kangen denganmu,” kata Sudung.




Namun Zakiah tidak memberi respon, sikap Sudung dianggapnya tidak wajar kalau Sudung harus bersikap cengeng. “Aku ngak suka kalau kamu bersikap cengeng, seharusnya kamu bisa menempatkan posisimu agar lebih bijaksana dan arif. Persoalan begini saja, kamu sudah galau,” cerca Zakiah. Sudung tidak mampu berkata kata apa apa, seperti  singa ganas yang terkena bius dosis tinggi.




“Salahkan aku Zak, tapi jangan kamu menghukumku dengan sikapmu yang dingin. Harus kusadari kita semakin berbeda, rasanya aku telah salah menilaimu, biar kusimpan rasa kecewa, kendati aku yang selama ini yang mengalah padamu,” sahud Sudung. “Aku tidak pernah menghalangimu, biarlah aku yang mengalah, tidak akan pernah aku menghalangi keinginanmu untuk mencintai Linai,” sebut Zakiah sedikit mengacuhkan Sudung.




“Kusadari ada damai dalam hatiku ketika kamu bersamaku, tetapi harus berlalu, setelah kamu tidak pernah mengerti akan perasaanku. Apakah kamu pernah merasakan apa yang aku rasakan. Lantas dimana mimpi-mimpi kita akan bersama ???,” tanya Zakiah .




“Pada hal aku ingin bersamamu, aku ingin disisimu, namun malah kamu memilih Linai, apakah kamu sudah menutup hati untukku, sehingga kamu tidak pernah memberi waktu padaku. Kalaupun kamu sayang pada Linai, tapi seharusnya kamu mengerti aku juga,” ujar Zakiah sembari meneteskan air mata seraya meninggalkan Sudung begitu saja dan memacu mobilnya dengan kencang seraya memilih lagu Afgan  

Untukmu Aku Bertahan
Tenanglah kekasihku
Ku tahu hatimu menangis
Beranilah tuk percaya
Semua ini pasti berlalu
Meski takkan mudah
Namun kau takkan sendiri
Ku ada disini ..
Untukmu aku akan bertahan
Dalam gelap takkan kutinggalkan
Engkaulah teman sejati
Kasihku di setiap hariku
Untuk hatimu ku kan bertahan
Sebentuk hati yang kunantikan
Hanya kau dan aku yang tahu
Arti cinta yang tlah kita punya
Beranilah dan percaya
Semua ini pasti berlalu
Meski takkan mudah
Namun kau takkan sendiri
Ku ada disini ...



Dalam kebimbangan Sudung harus menjalani hidup, terlebih masalah pilihan hidup yang sangat membuatnya tersiksa antara cinta dan kasih sayang, keseimbangan dalam menjalani hidup tidak pernah dirasakan, kecewa dan disalahkan, padahal Sudung juga haus dan merindukan cinta Zakiah. Selama ini Sudung mencoba untuk mengubur sedalam dalamnya rasa cinta yang ada dihatinya, kendati dijalani akan berakhir pahit sebab cinta itu berada di rel terlarang.




“Pak Sudung, saya melihat saudara beberapa hari ini selalu gelisah. Apa gerangan yang sebenarnya,” tanya dokter Glend sembari mempersilahkan Sudung masuk ke salah satu ruangan. “Seharusnya pak Sudung lebih tabah atas semua kejadian yang menimpa Linai! Lihat saja kondisi Linai sudah tampak membaik secara fisik, namun pak Sudung akan lebih di uji lagi, melihat kesimpulan diagnose,” kembali Glend menjelaskan kendati tidak terinci, sehingga Sudung semakin gelisah.




Penjelasan dokter berwajah tampan itu, membuat Sudung semakin kehilangan mental, seakan tidak mau mendengarkan penjelasan tentang keberadaan Linai. Tetapi, agar tidak terbeban pikiran, Sudung mencoba menyakinkan bahwa dianya akan sanggup mendengarkan keputusan atau vonis yang akan dijatuhkan oleh dokter, meskipun sebelumnya Sudung sudah biasa mendengarkan putusan vonis hakim ketika Ianya menjadi langganan hotel prodeo karena sering keluar masuk bui. Hanya saja, untuk mendengarkan putusan dokter Glend, harus membuatnya tidak berdayal.




“Ia pak pak dokter! saya siap untuk sesuatu hal terkait kondisi Linai!, sebenarnya apa yang terjadi pak dokter, apakah Linai bisa diselamatkan??”, tanya Sudung sembari mengeluarkan tissue dari kantong celananya mengusap keringat tubuhnya. “Pak Sudung!!! setelah melalui uji lap disertai dengan hasil diagnose, ibu Linai sudah terserang kangker otak dan kangker tulang, segala upaya sudah kita lakukan,” penjelasan dokter Glend itu, seketika Sudung mengusap kepalanya, seakan tidak percaya atas kejadian tersebut.




“Apakah tidak ada upaya lain dokter?? saya siap, berapa dana yang akan habis, yang penting nyawanya bisa diselamatkan,” sela Sudung sembari memegang tangan Dokter Glend. “Sepertinya kita sudah terlambat!!, meskipun kita lakukan operasi, sudah tidak memungkinkan, melihat kondisi Linai yang belum juga membaik. Bila dipaksakan, harus melakukan operasi lagi, hasilnya sudah tentu tidak membuat dirinya normal,” kata Glend  lebih detail tentang resiko yang akan terjadi bila dilakukan operasi otak kembali.




“Saya berharap, ngak usah diceritakan kepada Linai, lihat saja besok dia akan tampak bugar, tapi dua minggu berikutnya dia akan koma kembali,” dokter Glend kembali menjelaskan.Aku sarankan, buat dia bahagia untuk dua minggu ini. Saya sarankan coba penuhi apapun permintaannya, kalau bisa buat lebih bahagia dan jangan ada perubahan mimik wajah, yakinkan dia akan sembuh dari penyakitnya,” pinta Glend seraya meninggalkan Sudung terduduk bingung dan gelisah di ruangannya.




Sudungpun langsung beranjak lalu menuju ruangan Linai, betapa terkejutnya Sudung. Linai dilihatnya sedang berkemas-kemas hendak meninggalkan rumah sakit. “Sayang mau kemana?? tanya Sudung kepada Linai sedikit member motivasi. Linai hanya tersenyum bahagia apalagi mendengar kata sayang dari Sudung. “Nggak pak, aku dah sembuh kok, perasaanku sudah sehat. Tadi pagi dokter bilang, aku sudah bisa pulang,” seru Linai. Apa yang dilihat Sudung terkait sikap Linai, membenarkan penjelasan dokter Glend bahwa Linai akan terlihat sehat dan bugar.




“Sebelum kita ninggalkan rumah sakit ini, ada sesuatu mau aku tanya sama bapak!!, tapi bapak harus jujur mengakuinya. Apakah bapak mencintai saya??, maukah bapak menikah denganku??, bilapun tidak, aku ngak apa apa Dung!!,” tanya Linai seraya memegang tangan Sudung. Sudungpun terdiam, permintaan Linai sangat tidak logika baginya, terlebih pesan dokter Glend, menyarankan agar menghiburnya dan selalu membuatnya bahagia. 



Bagian (19)
Meski Linai tidak mengetahui, bahwa umurnya sudah dekat. Bahkan pihak dokter telah memberi garansi vonis mati. Namun bagi Sudung belum yakin sepenuhnya, bila kanker otak bisa menyebabkan kematian. Namun gejala yang timbul, dan cukup mengherankannya, Linai sendiri diluar dugaan minta kepada Sudung untuk menikahinya. Tentunya permintaan Linai itu,  adalah hal yang mustahil terlebih bila melihat hubungan tanpa status yang ada hanya rasa iba.
Mendengar permintaan Linai untuk dinikahinya, Sudung pun semakin gila. Namun bila mengingat umurnya memasuki kepala tiga sudah seharusnya menikah, terlebih pesan keluarganya untuk segera berburu untuk mendapatkan jodohnya. Kendati niat untuk berburu wanita idaman selalu kandas, terlebih kehadiran bayang-bayang Zakiah yang cantik dengan daya magnet yang manis selalu menghiasi mimpinya hingga kerap harus melakoni mastrubasi.
Terbayang ibunya yang sudah tua keronta, Sudung sejenak membayang ibunya sedih dan berharap agar mendapat momongan darinya. Sejurus Sudung langsung meraih telepon genggamnya. “Sehat do ho inong, songon dia do kabarmu nuaeng?,” tanya Sudung.
Terdengar suara parau, seperti speaker usang. “Olo amang, songon dia do ho nuaeng ??, dang marhasohotan dope ho amang. Alapma boru ni raja i, molo dang paribanmu si July petaho,” pinta Ibu Pardomuan. Sudung hanya terdiam mendengarkan sambil termangguk-mangguk seperti peserta kelompencapir di era orda lama dulu. “Mas, udah siap nie, kita langsung pulang!!, dari mana aja tadi, kok ngak bilang bilang,” seru Linai seraya mencubit manja Sudung.
“Ia nie Lin!!, mama aku minta aku lekas cepat nikah. Bahkan saya diinstruksikan untuk menikah dengan paribanku. Syarat itu!, bila aku tidak segera menikah,” jelas Sudung. Linai terdiam. Nampak murung atas penjelasannya seraya meninggalkan Sudung. “Lin !! Lin !! mau kemana?, kan!! belum siap penjelasan aku sih!,”seru Sudung. Sedikitpun Linai tak menghiraukan Sudung, seketika Sudung sadar, bahwa dirinya telah menyakiti hati Linai dan membayangkan vonis kanker otak yang diderita Linai.
“Apa lagi yang harus dijelaskan mas??, semuanya dah jelas, bahwa mas selama ini tidak pernah cinta sama aku, bahkan niat tulusku untuk menikah denganmu adalah surga bagiku,” terang Linai. “Bukan gitu Lin!!, bukanya begitu Lin, aku saja yang belum sempat menjelaskannya padamu!. Sebenarnya ada yang ngeganjal saat ini, gimana dengan Zakiah, aku belum pernah ngomongkan ini padanya,”bujuk Sudung.
Sudung berupaya memberi pengertian dan membujuk Linai. “Baiklah, kita menikah, lusa kita langsung ke Medan. Aku hanya minta padamu, aku pamit dulu ama Zakiah!! bolehkan sayang??,” pinta Sudung. Lalu Linai menganggukan kepalanya. “Ooh ..ya!! apa kamu ngak ikutan??, sekalian kamu juga pamit ama mantan bos kita,”ajak Sudung.
“Nggak usah mas!! entar jadi panjang urusannya. Titip salam aja sama Zakiah, sampaikan terima kasih aku ya mas!!,” ujar Linai. Usai sampai di hotel, Sudungpun langsung pamit.
Sepanjang perjalanan, Sudung hanya membayangkan apa yang akan terjadi, dalam hatinya berkecamuk, ketidakberdayaannya untuk mengatakan semuanya. “Apa yang sedang terjadi padaku, ya.. Tuhan! cobaan apa yang kau berikan padaku ini,” ucap Sudung berulang kali dalam kesendirianya menuju rumah Zakiah.
Tak terasa, mobil Sudung sudah memasuki pelataran parkir. Persis di taman, terlihat Zakiah sedang asik duduk nyantai. Penuh keraguan Sudung menghampirinya. “Sore Zak!! lagi asik nih,” sapa Sudung.  Kehadiran Sudung pun disambut senyum manis Zakiah. “Kebetulan kamu datang, aku lagi kesepian. Nggak ada teman ngobrol,” kata Zakiah seraya mempersilahkan Sudung.
Sambutan Zakiah semakin membuatnya kikuk dan ragu, bahkan tidak mampu berkata apa apa lagi. Keraguan itu langsung menghampirinya, membuatnya semakin tidak berdaya melihat apa yang dibayangkan dalam pikirannya. “Apakah aku mampu menyakiti wanita yang aku sayangi ini, apa yang akan terjadi nanti bila aku harus berterus terang padanya,” kata Sudung dalam hati kecilnya. (to be continued)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar